THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 16 Oktober 2008

Balada Anak Bangsa

`

Balada Anak Bangsa Oleh Zaim Uchrow


Maghrib sudah berlalu. Hari tentu gelap. Seorang bocah kelas 3 SD mebonceng adiknya dengan sepeda. San adik kelas 1 SD. Mereka mereka menyusuri kalimalan sebelum kemudian berhenti untuk bertanya kepada seorang lelaki yang di temuinya. “om, om, Jakarta masih jauh ya?”tanyanya dengan napas tersenggal. Wajahnya berbrlu debu dan keringat .

Dua gadis kecilbersepeda di tengah riuh jalanan Jakarta petang hari, tanpa tahu posisi mana dan hendak menuju kea rah mana. Mereka tinggal di daerah timur Bekasi. Mereka merasa dibentak ibu mereka, diusir dan diminta pergi dari rumah. Ibu mereka sedang kalut, baru bertengkar dengan bapak mereka. Si bapak kawin lagi dan jarang di rumah. Mereka merasa hanya punya satu pilihan: pergi ke rumah nenek di Jaga karsa.

Siapa pun yang tahu Jakarta akan terbelalak. Dari Bekasi Timur ke Jaga karsa di selatan Jakarta dengan boncengan sepeda? Sungguh sulit membayangkanya. Apalagi meeka

adalah bocah kecil tanpa bekal, dan hanya mengerti bahwa jalan menuju Jakarta adalah menyusuri kali itu. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah sampai di ujung kali ter sebut. Tak ada satu patokan pun yang dapat menuntun secara jelas menuju rumah nenek mereka.

Di 63 tahun Negara kita, peristiwa semacam itu masih terjadi. Bukan hanya satu, melainkan banyak mungkin malah sangat banyak. Anak-anak jalanan masih dengan mudah kita temui di Jakarta hampir pasti menyimpan sebuah cerita serupa. Banyak anak yang tak tahu lagi ibu dan ayah. Mereka akan menggeleng bila di Tanya apakah tahu orang tua orang tua kalian hidup atau suah meninggal. Merka juga tak yahu di mana tepat kerabat mereka.

Kasih saying? Sebagian meraka mungkin masih punya sedikit kenangan pernah merasakan kasih sayang. Sebagin lagi tak ingat, atau malah sengaja melupakanya. Yang lebih banyak diingat barangkali justru kekerasan, atau kegetiran hidup keluarga.


Lain halnya dengan bocah-bocah yang terenggut maut di pinggiranj rel kawasan kelender dan Cipinang, beberapa tahun lalu. Mereka tentu ingin hidup sebagaimana anak-anak lainya.Tumbuh dalam kehangatan keluarga, bebas bermain dengan kawan – kawan,juga bsa sekolah untuk menjemput masa depan. Namun, keaadaan keluarga telah memelanting kan mereka ke pinggiran rel. mereka terpaksa harus berhubungn dengan anak jalanan yang jauh lebih senior, robot ghedek. Mereka harus menjadi korban sodomi,bahkan pembunuhan. Sang pemangsa, robot ghedek, paling antusias menyaksikan tubuh-tubuh bocah itu menghadapi sekarat.

Apa dosa anak-anak itu semua? Salahkan bila mereka terlahir dari keluarga gagal menjadikan diri sentosa di tingkatnya masing-masing.60 tahun mereka hidup dengan penderitaan. Jumlah keluarga yang lemah dalam berbagai aspek tersebut malah bertambah.

Pertambahanya bahkan makin pesat dan cepat, sejalan dengan pertambahan anak mereka. Apa yang salah dalam diri kita? Apa keliru dalam pemahaman dan pengalaman keagamaan kita? Maghrib itu sudah berganti dengan lainya?Betapa indah bila seluruh bocah dapat menyambut mahrib sedamai itu,dan bukan dengan menghadapi kerasnya hidup seperti kedua gadis cilik dan banyak bocah lainya.